Cirebon, Wayang

WAYANG CIREBON, sebenarnya masih amat serupa dengan Wayang Kulit Purwa. Namun, Wayang Kulit Cirebon memiliki berbagai hal yang khas. Ditinjau dari sudut seni kriya, beberapa tokoh wayang Cirebon dibuat cukup jauh berbeda dengan tatahan dan sunggingan Wayang Kulit Purwa. Antara lain peraga tokoh Prabu Dasamuka pada Wayang Kulit ini dibuat dengan kepala yang benar-benar berjumlah sepuluh, dilihat dari kedua sisi, – muka dan belakang.

Untuk tokoh-tokoh wayang yang memakai gelung capit urang, misalnya Arjuna, Samba, ujung gelungnya tidak sampai menyentuh ubun-ubun. Jadi, bentuk Wayang Kulit Cirebon ini agak mirip dengan Wayang Kulit Bali, tetapi ukuran badannya lebih langsing.

Bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Cirebon, yang pada dasarnya merupakan campuran antara bahasa Jawa dan Sunda. Namun, sejak sekitar dekade 1980-an, mulai banyak dalang Wayang Kulit Cirebon yang mencampurkan bahasa Indonesia dengan logat Cirebonan dalam dialog-dialog antar peraga wayang.

Cerita dan lakon yang dipergelarkan pada Wayang Kulit Purwa gaya Cirebon ini pun, sebagian agak jauh berbeda dengan Wayang Kulit Purwa gaya Surakarta atau Yogyakarta. Dalam lakon Babad Alas Amer (pada Wayang Kulit Purwa gaya Surakarta atau Yogyakarta, lakon ini disebut Babad Alas Wanamarta), misalnya, muncul tokoh yang bernama Bandung Bandawasa, Dewi Rara Jonggrang, dan sebagainya. Tokoh-tokoh panakawan pada Wayang Kulit Purwa gaya Cirebon ini juga memiliki beberapa perbedaan dengan Wayang Kulit Purwa di daerah Solo atau Yogyakarta.

Sebutan terhadap tokoh-tokoh wayang juga agak berbeda, misalnya Batara Guruh untuk Batara Guru, Naga Pracona untuk Kala Pracona, Kala Jenggi untuk Kala Srenggi, dan lain-lain.

Para budayawan Cirebon umumnya sepakat bahwa wayang gaya Cirebon bermula dengan kedatangan Sunan Kalijaga yang membawa kesenian wayang sebagai alat dakwahnya. Kebanyakan orang Cirebon percaya, sebagai dalang waktu itu Sunan Kalijaga menggunakan nama Ki Dalang Sunan Panggung. Wali ini pula yang memperkenalkan Suluk Malangsumirang, yang merupakan suluk khas Cirebon.

Untuk mengenang jasa sembilan orang wali penyebar agama Islam di Pulau Jawa, pada Wayang Kulit Purwa Cirebon diciptakan sembilan orang panakawan. Nama para panakawan itu adalah Semar, Curis, Bitarota, Ceblok, Dawala, Cungkring, Bagong, Bagal Buntung, dan Gareng.

Dibandingkan dengan Wayang Kulit Purwa, dialog-dialog pada Wayang Kulit Purwa gaya Cirebon lebih bernafaskan keislaman.

Seni Kriya Wayang Kulit Purwa Cirebon, walaupun sepintas lalu tampak serupa dengan seni kriya Wayang Kulit dari daerah-daerah lain, sebenarnya miliki gaya yang khas. Motif pokok tatahan dan ukirannya adalah: tumpengan, kepuhan, wringinan, praban, ron jubahan, ron gajah guling, sumping sekar melok, dan wasadan.

Sedangkan seni sunggingnya mengenal beberapa motif pewarnaan, yaitu sekabra, rujak wuni, kembang pari, walang kerik, menyan kobar, dan mega mendung.

Dibandingkan dengan Wayang Kulit Purwa gaya Surakarta atau Yogyakarta, Wayang Kulit Cirebon mempunyai daerah penyebaran yang agak terbatas, yakni terutama di daerah-daerah di sekitar Cirebon, antara lain Kuningan, Indramayu, Kalijati, Subang, Sumedang, dan Majalengka. Walaupun demikian, seni sungging wayang gaya Cirebonan menyebar jauh lebih luas, melalui seni gambar kaca yang diproduksi antara lain oleh seniman Rastika dan pelukis grafis Bahendi.

Lihat WAYANG.

One Response to Cirebon, Wayang

Leave a Reply

Kategori Abjad
Sponsor