Curiganata, Begawan
BEGAWAN CURIGANATA, adalah nama yang digunakan oleh Prabu Baladewa, ketika ia menjadi pendeta setelah usianya lanjut, yaitu setelah usainya Baratayuda. Sebagai seorang begawan, ia tinggal di Pertapaan Talkanda, yang dulu dihuni Resi Bisma (sebagian dalang megatakan, Prabu Baladewa setelah menjadi pertapa itu menggunakan dua nama. Curiganata dan Wasi Jaladara).
Suatu ketika, Kerajaan Astina yang di kala itu diperintah oleh Prabu Parikesit, timbul kerusuhan yang disebabkan oleh ulah cucu Patih Sengkuni bernama Kertiwindu. Ia menghasut Pancakusuma, cucu Yudistira. Dikatakannya, bahwa Astina kacau balau karena Prabu Parikesit tidak dapat memerintah dengan baik.
Timbul keteganan antara Pancakusuma dengan Parikesit, sehingga terjadi perang saudara. Akhirnya Pancakusuma disadarkan oleh Semar, dengan mengatakan bahwa Pancakusuma telah terhasut.
Peristiwa ini didengar oleh Begawan Curiganata, sehingga ia memerlukan datang ke Astina untuk memberi nasihat pada Parikesit dan Pancakusuma.
Tidak lama kemudian, Kerajaan Astina terancam bahaya lagi. Kali ini negeri itu diserang oleh Prabu Wesi Aji, anak Boma Narakusura yang dendam atas kematian ayahnya. Ia menganggap kematian Boma Narakasura adalah karena persekongkolan keluarga Pandawa dan Dwarawati.
Penyerbuan Prabu Wesi Aji ke Kerajaan Astina ini akhirnya dapat digagalkan, tetapi dalam peperangan itu Begawan Curiganata dan Prabu Wesi Aji sampyuh, mati keduanya.
Senjata Nanggala yang sempat dicuri oleh Prabu Resi Aji berhasil direbut kembali, dan dihantamkan pada cucu Boma Narakasura itu. Namun, setelah itu Nanggala lenyap kembali ke asalnya, yaitu pada Batara Brama. Sesaat kemudian, Begawan Curiganata kehilangan kekuatan dan roboh, lalu mangkat.
Mengenai kematian begawan Curiganata, ada juga versi lain, yang agak berbeda dengan kisah di atas.
Menurut versi ini, yang menyerbu Astina bukan Prabu Wesi Aji, melainkan Prabu Watu Aji, cucu Prabu Trembaka dari Kerajaan Tunggarana.
Keberanian Prabu Watu Aji untuk menyerang Astina timbul karena ia berhasil mencuri senjata Nanggala milik Prabu Baladewa, yang waktu itu telah menjadi pertapa dengan nama Begawan Curiganata atau Wasi Jaladara.
Pada suatu saat Prabu Watu Aji berjumpa dengan seorang wanita cantik bernama Dewi Sri Tanjung. Wanita muda itu mengatakan maksudnya hendak mengabdi pada Prabu Parikesit. Selanjutnya dikatakannya, bahwa dirinyalah Parikesit. Selanjutnya dikatakannya, bahwa pengabdian Sri Tanjung akan diterima bilamana wanita itu membawakan senjata Nanggala padanya.
Atas petunjuk Watu Aji, Dwi Sri Tanjung dapat mencuri senjata Nanggala dari Pertapaan Grojogan Sewu. Senjata itu lalu diberikan kepada Prabu Watu Aji.
Dengan berbekal senjata Nenggala, Prabu Watu Aji memimpin bala tentaranya menyerbu Kerajaan Astina. Para senapati Astina, Sasikirana, Jayasumpena, dan Danurwenda kewalahan menghadapi Prabu Watu Aji yang bersenjatakan Nanggala. Karena keadaan makin gawat, Prabu Parikesit kemudian mengutus Patih Dwara untuk memohon pertolongan Begawan Curiganata di Pertapaan Grojogan Sewu.
Mendengar laporan Patih Dwara yang menyebutkan Prabu Watu Aji menggunakan senjata Nanggala dan menyaksikan kenyataan bahwa Nanggala telah hilang, sifat asli Baladewa muncul kembali.
Dengan kemarahan yang meluap, Begawan Curiganata langsung berangkat ke Astina, dan langsung pula terjun dalam peperangan. Sewaktu berhadapan dengan Prabu Watu Aji, ia langsung mengenal, bahwa senjata yang digunakan lawannya adalah Nanggala, milikya. Pada perang tanding itu, Begawan Curiganata, walaupun telah lanjut usianya dapat merebut Nanggala, dan langsung menghantamkannya ke tubuh Prabu Watu Aji. Raja Tunggarana itu langsung tewas.
Setelah Astina aman, Begawan Curiganata lalu kembali ke Pertapaan Grojogan Sewu. Di sini, ia mohon kedatangan Batara Brama, untuk menyerahkan kembali senjata Nanggala. Setelah senjata Nanggala diserahkan kembali, tidak lama antaranya Begawan Curiganata mangkat.
Dalam seni kriya Wayang Kulit Purwa gagrak Surakarta, untuk Begawan Curiganata ini dibuatkan peraga wayang khusus. Pola bentuk wayang Begawan Curiganata diambil dari bentuk Prabu Baladewa, tetapi diberikan kesan tua, mahkotanya diganti dengan ketu ukel, dan diberi sampir di bahunya.
Lihat BALADEWA, PRABU.
Leave a Reply