Dalang

DALANG adalah pemimpin, pengarah, sutradara, dan dirigen dari suatu pertunjukkan wayang. Kecuali pada pertunjukkan Wayang Orang dan Wayang Topeng, dalang harus memainkan seluruh gerak peraga tokoh wayang yang dimainkannya. Ia juga memberi perngarahan pada para penabuh gamelan, pesinden, dan wiraswara. Pengarahan itu dilakukannya dengan berbagai isyarat yang dipahami oleh anak buahnya.
Seorang dalang harus hafal banya cerita wayang, memahami silsilah tokoh-tokoh wayang dan tahu tentang filsafat cerita yang terkandung di dalamnya. Ia harus pandai memaparkan cerita itu secara tertib, beruntut, lancar, dan memikat. Ia pun harus mair memainkan dan memperagakan tokoh-tokoh wayang yang dimainkan, dan paham betul akan karakter tokoh wayang itu. Menguasai lagu-lagu gending pengiring dapat menembangkan lagu-lagunya, juga merupakan syarat utama yang harus dimiliki seorang dalang.

Selain itu ia masih dituntut kepandaian memainkan warna suaranya, sehingga suara tokoh yang diperankan menyimpulkan pula karaker tokoh wayang itu. Dalang yang baik juga harus memiliki kharisma, punya greget, dapat menguasai dan mengendalikan emosi penontonnya. Dan, tidak kalah pentingnya, ia harus bertubuh sehat karena ia dituntut harus dapat memainkan wayang semalam suntuk.

Pada zaman dulu, salah satu syarat mutlak yang harus dimiliki seorang dalang adalah memiliki suara yang lantang, nyaring. Namun, sejak digunakannya alat pengeras suara elektronik (mikrofon) pada pergelaran wayang, suara nyaring itu tidak diperlukan lagi.

Dalam pergelaran Wayang Kulit Purwa seorang dalang bebas berimprovisasi, sepanjang masih tetap di jalur utama ceritanya. Namun biasanya improvisasi ini hanya mereka lakukan pada bidang antawecananya. Tempo dan irama penuturan juga sepenuhna dalam kekuasaan dalang. Bagi dalang yang mahir banyolan dan menguasai banyak tembang dang gending biasanya ia memberi waktu yang cukup banyak pada adengan gara-gara. Sedangkan dalang yang mahir dalam sabetan biasanya memanjangkan waktu pada adengan-adengan perang.

Dalang Wayang Kulit Purwa yang terkenal pada dekade 1960 sampai 1970-an, antara lain Pujasumarta Wignyasutarna, Nartasabda, Timbul Hadiprayitno, Anom Suroto, Hadisugito, Sugino Siswoarito, Panut Darmoko, Manteb Soedharsono, Sugito Purbocarito, Purbo Asmoro, Warseno dll. Sedangkan dalang Wayang Golek Sunda (Jawa Barat) yang terkenal di antaranya adalah S. Adiwijaya, Barnas Somantri, Asep Sunandar Sunarya, Tjetjep Supriadi, dan Gandapermana.

Dalam pelajaran pedalangan Wayang Kulit Purwa ada delapan prasyarat yang harus dimiliki oleh seorang dalang, yakni:

  1. Parama Sastra. Seorang dalang harus kaya akan perbendaharaan kata, ahli dalam tata bahasa, terutama bahasa lisan.
  2. Parameng Kawi. Seorang dalang harus memahami arti kata-kata dan istilah bahasa Kawi, dan bahasa Jawa Kuna.
  3. Mardi Basa. Dalang yang baik harus pandai mempermainkan atau mengolah kata-kata yang digunakan, sehingga penceritaannya lebih memikat perhatian penonton, lebih dapat membawakan suasana cerita.
  4. Mardawa Lagu. Artinya, dalang harus menguasai berbagai tembang, gending, dan seni karawitan.
  5. Mandra Guna. Seorang dalang harus menguasai berbagai ketrampilan dalam seni pedalangan. Ada juga mengartikan, dalang harus memiliki kelebihan batiniah, dan sugesti diri yang kuat, sehingga dapat menguasai dan mengendalikan emosi penonton.
  6. Hawicarita. Dalang harus seorang yang mempunyai kemampuan yang mempunya kemampuan bercerita, kemahiran untuk membawakan cerita secara runtut dan memikat. Tidak ada bagian cerita yang terlupa.
  7. Nawung Krida. Dalang harus mengerti dasar-dasar ilmu psikologi, memahami karakter semua tokoh wayang dan kaitannya dengan karakter manusia.
  8. Sambegana. Dalang harus seorang yang mempunyai ingatan kuat terhadap semua lakon wayang dan tahu benar urutan skenario ceritanya.

Selain kedelapan prasyarat itu ada lagi syarat lain yang harus dipenuhi seorang dalang yang ingin sukses, yaitu harus tau benar situasi dan kondisi di mana, di daerah mana, di hadapan siapa, ia mendalang. Mendalang di hadapan penonton khusus yang rata-rata berpendidikan tinggi, lain dengan kalau penontonnya dari kalangan rakyat jelata.

Mendalang di daerah pedesaan, harus berbeda dengan mendalang di kota besar. Mendalang di Jombang, Jawa Timur, akan berbeda dengan kalau ia mendalang di Kebayoran Baru, Jakarta. Mendalang dengan penonton yang mayoritas wanita, akan berbeda dengan cara mendalang dengan penonton yang hampir semuanya kaum pria.
Di kalangan pedalangan, kemampuan seorang dalang, baik ketrampilan, pengetahuan pewayangan, kedalaman filsafat, maupun derajat spiritualnya dapat dibagi atas beberapa tingkatan:

  1. Dalang Sejati, dianggap paling tinggi tingkatannya, mampu dalam berbagai hal, termasuk juga menyelenggarakan upacara ruwatan lengkap. Dalang sejati oleh masyarakat bukan hanya dianggap sebagai dalang, melainkan juga orang pintar yang sanggup memberikan ‘pepadang’ pada orang-orang yang sedang susah atau ruwet pikirannya. Ia dianggap memiliki kemampuan spiritual yang tinggi.
  2. Dalang Purba menguasai banyak lakon wayang dan sanggup memilihkan lakon mana yang paling tepat dengan acara atau situasi pada saat pergelaran. Pada saat mendalang ia sanggup memberikan wejangan yang bermanfaat bagi penonton, tanpa mengganggu alur cerita. Dalang yang demikian biasanya memiliki pengetahuan filsafat, terutama filsafat Jawa yang mendalam. Ia juga sanggup menguraikan filsafat itu tanpa membuat penonton bosan, justru tekun menndengarkan.
  3. Dalang Wasesa sanggup membangkitkan emosi penonton. Kepandaiannya bertutur dapat menyebabkan larutnya emosi penonton sehingga seolah mereka merasa berada dalam dunia pewayangan yang sedang dilakonkan. Dalang yang begini biasanya memiliki prabawa kuat terhadap penontonnya.
  4. Dalang Guna hanya mengandalkan keterampilan memainkan wayang, tanpa terlalu peduli soal filsafat atau segi pendidikan yang terkandung di dalamnya. Biasanya dalang itu akan memperpanjang adegan perang, karena soal gending pun ia kurang menguasai. Penggemar dalang semacam ini pada umumnya kaum muda, terutama yang tak terlalu tinggi tingkat pendidikannya.
  5. Dalang Wikapala, sebutan bagi dalang yang tidak memiliki kreasi. Ia hanya mendalang persis seperti apa yang diajarkan kepadanya, persis seperti bukku pakem lakon, tanpa improvisasi sama sekali. Meskipun caranya mendalang tidak salah, biasanya dalang yang demikian membosankan penonton.

Pada masa silam, seorang yang ingin belajar menjadi dalang harus lebih dulu ‘ngenger’ atau nyantrik, atau mengabdi pada dalang senior yang sudah ternama. Masa nyantrik ini seringkali berlangsung hingga bertahun-tahun. Selain itu ia pun masih harus menjalani hidup prihatin, tirakatan, lelaku, ziarah ke makam dalang-dalang terkenal, dan kadang-kadang juga bertapa, untuk memperoleh ‘wahyu dalang’. Di daerah tertentu di Jawa Tengah dan Jawa Timur, kepercayaan akan adanya wahyu dalang ini masih tetap ada sampai dengan dekade 1980-an (baca CANTRIK).

Sejak zaman pemerintahan Sunan Amangkurat II, setiap dalang yang akan bertugas meruwat, harus lebih dahulu meminta izin dan restu Ki Dalang Anjangmas, seorang dalang keraton masa itu. Hak memberi izin dan restu itu terus dipegang oleh keturunan dalang ternama itu. Namun, peraturan mengenai izin itu mulain luntur sejak zaman pemerintahan Sunan Pakku Buwana IV (1788-1820).

Pada zaman dulu, dunia pedalangan memang mengenal dua golongan dalang, yaitu dalang keraton atau dalang nglebet dan dalang ndesa, dalang ndusun, dan dalang njawi. Dalang yang baik, biasanya adalah dalang keraton, karena pada masa itu keraton memang merupakan pusat budaya.

Selain mendapat kedudukan dan status sosial yang tinggi, dalang keraton juga mendapat gelar serta nama baru dari pihak keraton. Dalan keraton yang masih muda, mempunyai kesempatan memperdalam pengetahuan dan ketrampilannya dengan bimbingan dalang-dalang keraton lebih senior.

Seorang dalang ndesa yang baik, terkadang juga mendapat panggilan untuk mengabdi di keraton dan diberi kesempatan belajar pada dalang keraton akan merasa dirinya lebih berkualitas dibandingkan rekannya yang masih dalang ndesa.

Nayawirangka, seorang budayawan dan dalang sepuh dari Keraton Kasunanan Surakarta memberikan beberapa pantangan yang sebaiknya tidak dilakukan oleh seorang dalang. Yang pertama, jangan sampai kebogelan, yakni kelebihan waktu dalam melaksanakan pergelaran- ceritanya sudah tetapi waktunya masih panjang. Kedua, jangan sampai karainan, yakni waktu sudah habis, sudah mulai pagi, tetapi ceritanya belum selesai. Dalam melaksanakan pergelaran dalang tidak boleh leled, yakni terlalu pelan-pelan, sehingga sudah lewat jam 2 pagi belum juga melaksanakan adegan perang kembang. Dalang juga tidak boleh rongeh, yakni tidak tenang duduknya, terganggu perhatiannya pada hal lain selain pada cerita pedalangannya, tidak berkonsentrasi.

Anjuran lainnya adalah, agar diusahakan jangan sampai meninggalkan tempat duduknya, misalnya untuk buang air. Selain itu, dalang sebaiknya tidak menggunakan kata-kata dan istilah yang bukan kata dan istilah Jawa. Jangan menggunakan kata dan istilah yang mempunyai konotasi dengan alam lain di luar pewayangan, misalnya istilah permesinan, istilah politik masa kini, istilah perlistrikan, istilah kimia, dan lain-lain.

Selain itu, ada beberapa pantangan, yang hampir selalu ditaati para dalang. Misalnya, seorang dalang tidak akan melangkahi kotak wayang dan tutupnya. Ia juga tidak akan melangkahi instrumen gender dan tempat sesaji.

Dalang Terompet

Pada zaman dahulu, sekitar tahun 1915-an sampai 1935-an, dalang yang terlalu mencolok membawakan misi tertentu, atau propaganda tertentu, misalnya memberi anjuran pada penontonnya agar mau menjadi kuli kontrak atau bertransmigrasi ke Lampung, dijuluki dalang terompet atau dalang corong. Dalang semacam ini tidak disukai karena dianggap menunggangi seni pedalangan untuk tujuan lain di luar kesenian. Pada zaman itu, untuk menggalakkan program transmigrasinya, pemerintah gubernemen Hindia Belanda antara lain menggunakan media Wayang Kulit Purwa untuk mencari tenaga kerja bagi onderneming (kuli kontrak untuk perkebunan) di luar Jawa, dan juga untuk mempopulerkan program transmigrasi ke Lampung. Banyak di antara dalang yang bersedia menjadi ‘corong’ atau ‘terompet’ itu akhirnya justru ditinggalkan penontonnya.

Namun tampaknya, pekerjaan tambahan seorang dalang sebagai ‘corong’ atau ‘terompet’ ini justru makin menjadi-jadi menjelang pemilihan umum 1955, dan lebih-lebih pada awal tahun 1960-an, ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Lekra-nya (PKI dan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang sejak 1966) juga menggunakan media pedalangan sebagai sarana propaganda dan agitasi politiknya. Akibatnya, setelah pemberontakan G30S/PKI yang gagal pada tahun 1965, banyak diantara para pedalang yang dinyatakan terlibat, dan dilarang pentas.

Sesudah masa pemerintahan Orde Baru, ternyata keadaan dunia pedalangan tidak banyak berubah. Pesan-pesan politik masih seringkali dibebankan pada para dalang, terutama oleh Golongan Karya pada saat-saat menjelang pemilihan umum. Bukan hanya dalang pemula yang seperti terpaksa ikut arus semacam ini, juga senior yang sudah punya nama besar.

Popularitas

Sepeti seniman pada umumnya, popularitas merupakan hal penting bagi seorang dalang. Dengan meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan pedalangan yang dimiliki, serta sikap pandai membawa diri di hadapan penontonnya, popularitas akan datang dengan sendirinya. Untuk itu, diperlukkan kesabaran.

Tetapi sejak akhir 1980-an beberapa dalang muda mencoba mencari popularitas melalui jalan pintas. Jalan singkat yang ditempuh di antaranya, mendalang dengan pakaian yang nyentrik; menggunakan kata-kata dan kalimat yang tidak lazim dalam pedalangan; membuat lelucon cabul; menggunakan petasan pada saat pergelaran — terutama pada adegan perang; menggunakan pentas pergelaran untuk promosi langsung bagi dirinya sendiri, misalnya dengan mengumumkan alamat dan nomor teleponnya.

Usaha mencapai popularitas semacam ini biasanya gagal, atau hanya mencapai popularitas sekejap saja.

Pendidikan dan Organisasi

Dulu, orang yang ingin belajar mendalang harus ‘mengabdi’ dulu pada dalang yang sudah ‘jadi’, sudah punya nama. Istilahnya, ngenger. Pada masa itu, si Calon Dalang lebih banyak menghabiskkan waktunya menjadi semacam orang suruhan dari Dalang Senior itu. Ia akan melakukan pekerjaan apa saja, untuk memikat hati sang Dalang Senior agar mau menurunkan ilmunya. Jika sang Senior berkenan hatinya, barulah ia sedikit demi sedikit mengajarkan ilmu mendalang itu. Masa ‘pendidikan’ semacam itu disebut nyantrik atau menjadi cantrik. Lamanya bisa bertahun-tahun, dan bahkan banyak yang sampai belasan tahun. Baca juga CANTRIK.

Dalang yang terdidik dengan cara ini, untuk waktu tertentu biasanya akan menjadi ‘duplikat’ dari seniornya. Dengan pendidikan secara tradisional ini, ia juga seolah mewarisi kharisma dan nama besar dalang yang menjadi gurunya.

Pendidikan dalang yang lebih terorganisasi dan lebih sistematik antara lain diselenggarakan oleh Pasinaon Dalang Surakarta (Padasuka), Hamurwani Birawa Rancangan Dalang (Habiranda) di Yogyakarta, serta di Himpunan Budaya Surakarta (HBS), dan Pasinaon Dalang ing Mangkunegaran (PDMN) di Surakarta. Kemudian, sejak 1973-an Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) di Surakarta, yang kini bernama Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), juga membuka jurusan pendidikan dalang. Selain di Surakarta, STSI juga ada di Denpasar Bali, dan di Bandung Jawa Barat serta ISI Yogyakarta. Pada lembaga pendidikan dalang semacam ini, ilmu dan seni pedalangan diajarkan secara lebih sistematik.

Sejak kemerdekaan RI, pertemuan di antara sesama dalang untuk membicarakan berbagai aspek pedalangan serta pewayangan pada umumnya, sudah beberapa kali diadakan. Bulan Agustus 1956 di kompleks Pura Mangkunegaran, Surakarta, diadakan Kongres Pedalangan Indonesia. Setelah itu pada Januari 1968 Universitas Indonesia mengadakan Sarasehan Pedalangan Ringgit Purwa. Kemudian pada tahun 1977 di Pandaan, dekat Malang, Jawa Timur, diadakan Sarasehan Dalang se-Indonesia. Pada tahun 1994, bulan Januari, diadakan lagi Sarasehan Pedalangan, yang dihadiri oleh ratusan dalang dari berbagai daerah di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta.

Acara Sarasehan Dalang semacam itu juga diadakan lagi pada bulan Februari 1998. Kali ini diadakan bersama Sarasehan Waranggana se-Indonesia. Acara ini diprakarsai oleh SENA WANGI dan PEPADI Pusat.

Sementara itu, ada pula acara tetap Pekan Wayang Indonesia lima tahun sekali, yang diadakan di Jakarta. Acara ini merupakan kegiatan berkala dalam agenda Pengurus SENA WANGI.

Beberapa organisasi yang menampung aspirasi para dalang juga pernah dibentuk. Di antaranya PEPADI (Persatuan Pedalangan Indonesia) yang (pada tahun 1990) mempunyai komisariat daerah di 23 propinsi; Ganasidi (Lemaga Pembinaan Seni Pedalangan Indonesia) yang anggotanya banyak di Jawa Tengah dan Yogyakarta; serta Listibia, organisasi dalang di Bali dan Lombok.

Pada pertengahan 1998, beberapa dalang di Jawa Tengah menyatakan keluhannya terhadap Ganasidi, karena organisasi itu terlalu berpihak pada salah satu organisasi politik tertentu. Selain itu sebagian besar dalang di Jawa Tengah dan Yogyakarta juga mengeluhkan adanya ketentuan bahwa dalang yang akan pentas harus lebih dulu mengurus izin dari organisasi dan instansi tertentu.

Mulain dekade 1990-an, para dalang juga sudah memiliki majalah sendiri, yakni Cempala. Majalah pedalangan ini diterbitkan oleh PEPADI Pusat.

Baca juga PEDALANGAN, SENI; WAYANG; dan RUWATAN.

Leave a Reply

Kategori Abjad
Sponsor